Minggu, 13 September 2015

KEMITRAAN USAHA (CONTRACT FARMING) AGRIBISNIS AYAM PEDAGING DAN TINJAUAN SYARI’AH DALAM BETUK KERJASAMA BISNIS (SYIRKAH)




I.          Pendahuluan
Dalam menjalankan usahanya manusia akan selalu berhubungan dengan kelomopok atau individu lain untuk mendukung kesuksesan usaha tersebut. Manusia sebagai mahluk sosial tidak akan bisa berusaha sendiri tanpa melibatkan orang lain, dengan sifat dasar manusia hidup bermasyarakat dan berhubungan dengan yang lain dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk berhubungan ekonomi maupun kegiatan sosial lainnya (bermuamalah) sehingga timbullah kerjasama antara satu individu dengan individu lain atau satu komunitas dengan komunitas lain untuk membuat perjanjian atau kesepakatan-kesapakatan kerjasama dalam bidang bisnis (syirkah).
Tidak terlepas dari hal tersebut kerjasama dalam usaha pertanian sudah berkembang sejak lama, karena kegiatan pertanian merupakan kegiatan yang mendasar bagi masyarakat dalam hal untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sektor pertanian mulanya memang hanya sebagai sektor produksi saja terutama untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga, namun seiring dengan berkembangnya sektor industri, kebutuhan akan produk pertanian menjadi sangat penting sebagai bahan baku indudustri tersebut. Produk pertanian tidak hanya sebagai bahan pangan (food) saja tapi telah berkembang kedalam berbagai kebutuhan seperti bahan obat-obatan, kosmetika, pakan ternak (feed) dan sumber energy terbarukan (biofule).
Terjadinya transformasi sector budidaya pertanian ke sector indudustri pengolahan, menyebakan sector tersebut tumbuh dan berkembang dengan pesat terutama di pedesaan yang merupakan sumber penghasil produk pertanian. Seiring dengan perkembangan sector pertanian juga diikuti dengan berkembangan kegiatan ekonomi atau bisnis bidang pertanian tersebut dan telah menimbulakan banyak kerjasama-kerjasama bisnis atau kemitraan dalam usaha pertanian (contrac farming).
Kerjasama usaha pertanian pada prinsipnya adalah dalam upaya mewujudkan bisnis yang berkeadilan dan saling menguntungkan antara petani sebagai produsen dengan industri sebagai pemakai/ konsumen. Banyak bentuk-bentuk kerjasama usaha pertanian yang berkembang berikut dengan keunggulan dan kelemahannya. Tidak terlepas dari hal tersebut Islam juga mengatur bagaimana system kerjasama bisnis yang berkeadilan dan saling menguntungkan tersebut. Juga tidak salah kiranya prinsip-prinsik kerjasama sesuai syari’ah berkembang dengan baik mengingat Indonesia sebagai negara agraris dan sebagian besar penduduknya beragama Islam. Dalam Islam, pertanian merupakan subsistem dari Sistem Ekonomi Islam. Hasil-hasil pertanian digunakan untuk memenuhi hajatun ‘udhawiyah (kebutuhan fisik) manusia seperti makanan dan minuman, serta kebutuhan asasi individual yakni pakaian dan perumahan. Sebagai contoh dengan penduduk lebih dari 220 juta jiwa, Indonesia saat ini membutuhkan bahan pangan pokok tidak kurang dari 53 juta ton beras, 12,5 juta ton jagung dan 3,0 juta ton kedelai. Belum lagi berbagai produk olahan yang menunjang kenyamanan hidup manusia, seperti obat-obatan, kosmetika, kerajinan, dan sebagainya.
Salah satu sector pertanian untuk kebutuhan pangan sebagai sumber protein hewani adalah peternakan. Pada awalnya manusia hidup berburu untuk mendapatkan pangan hewani, namun setelah terjadi penjinakan (demostikasi) terhadap hewan-hewan liar tersebut berkembanglah kegiatan beternak sampai sekarang yang telah didukung oleh teknologi. Peternakan ayam pedaging merupakan sector peternakan yang menarik dan menguntungkan bagi peternak berkembang dengan pesat terutama dengan system kemitraan. Berdasarkah hal tersebut akan dijelaskan beberapa system kerjasama usaha (kemitraan) peternkan ayam pedaging antara peternak dengan perusahaan peternakan yang berkembang saat ini.

II.       Sistem Kemitraan/ Kerjasama dalam Peternkan Ayam Pedaging
Urgensi kemitraan dalam usaha pertanian diwujudkan dengan lahirnya Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, serta peraturan Pemerintah No.44 tahun 1997 tentang kemitraan. Kemitraan usaha (partnership) didefenisikan sebagai kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. SK Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, pasal 2 menyebutkan : “bahwa tujuan kemitraan usaha pertanian adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan sumberdaya kelompok mitra, dan peningkatan skala usah, dalam rangka menumbuhkan dan peningkatkan kemampuan kelompok mitra yang mandiri”.
Dalam berbagai model kemitraan yang dikembangkan di Indonesia, selalu melibatkan dua hal, yaitu adanya hubungan dagang dan hubungan pembinaan atau bimibingan teknis, manajemen, bantuan permodalan, dan pemasaran hasil. Ada beberapa model kemitraan yang berkemabang seperti : Model inti plasma, model system pertanian kontrak, model sub kontrak, model dagang umum, model vendor, model keagenan, dan model kerjasama operasional agribisnsi (KOA).
Kerjasama atau kemitraan pada peternkan ayam pedaging secara umum yang sering diterapkan dimasyarakat adalah model inti plasma. Model ini merupakan hubungan kemitraan antara usaha (UK) dengan usaha menengah atau besar, dimana usaha menengah (UM) atau usaha besar (UB) bertindak sebagai inti dan Usaha Kecil selaku plasma. Perusahaan inti berkewajiban melakukan pembinaan mengenai teknis produksi agar diperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan. Pembinaan juga dilakukan untuk meningkatkan kualitas meningkatkan manajemen kelompok plasma. Sebagai tindaklanjut Keppres No. 50 tahun 1981 maka dikeluarkan kebijakan pemerintah PIR Perunggasan (1984), yang dalam operasionalisasinya diperkenalkan dalam tiga sistem :
1.      Sistem Upah
Kerjasama peternakan ayam pedaging dengan system ini adalah, peternak mendapatkan upah dari perusahaan mitra yang memodali usaha peternakan yang dilakukannya. Secara operasional system ini yaitu, peternak dalam hal ini harus sudah memiliki kandang yang sudah lengkap dengan peralatan lainnya serta juga tenaga pengelola. Sedangkan perusahaan inti akan menyediakan input produksi seperti bibit (DOC), pakan, obat-obatan dan menjamin pemasaran. Dalam usaha ini peternak hanya mendapatka upah dari usahanya, biasanya peternak mendapatkan upah sebesar Rp.1000/ ekor.
Keuntungan bagi peternak dalam usaha ini adalah, peternak tidak ikut menanggung resiko gagal panen ataupun harga jual ternak rendah, peternak tetap mendapatkan upah sesuai kontrak kerja, sedangkan kerugian bagi peternak adalah tidak ikut mendaptkan keuntungan harga tinggi. Bagi perusahaan keuntungannya adalah dapat membantu memperluas jaringan perusahaan, apabila harga tinggi maka keuntungan sebagian besar dinikmati perusahaan, sedangkan kerugian bagi perusahaan adalah harus tetap membayar upah kepada peternak walaupun harga anjlok dipasaran dan disamping itu peternak tidak termotifasi memelihara ayam dengan baik sehingga seringkali produksi tidak mencapai target yang ditetapkan.
Sistem upah pada awalnya sangat diminati oleh para peternak karena resikonya lebih rendah. Seperti yang diketahui peternakan ayam pedaging mempunyai resiko yang besar. Namun akhir-akhir ini system upah sudah mulai ditinggalkan peternak karena keuntungan sudah dipatok perusahaan.

2.      Sistem Kontrak
Kemitraan atau kerjasama dalam bentuk kontrak adalah kerjasama antara peternak sebagai plasma menjalin kerjasama dengan perusahaan perunggasan (inti) yang mana dari awal kegiatan bisnis dilakuan kontrak harga ayam per satuan Kg. Harga kontrak ditetapkan setelah dikeluarkan semua biaya-biaya produksi. Adapun kewajiban dari pihak inti adalah : 1) Menyediakan bibit ayam (DOC) dengan kualitas standar, 2) Menyediakan pakan (feed) produksi perusahaan inti, 3) Menyediakan vaksin dan obat-obatan, 4) Menyediakan input-input lainnya seperti bahan pemanas (gas atau batu bara), 5) Melakukan bimbingan dan pengawasan melalui tenaga teknisi dan supervisor,dan 6) Menampung dan memasarkan seluruh hasil produksi. Sedangkan plasma berkewajiban : 1) Menyediakan kandang dan lahan dengan kapasitas 4.000-6.000 ekor, 2) Menyediakan tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga maupun tenaga luar keluarga (hired labor), 3) Menyediakan bahan bakar, sekam, listrik, dan air bersih, 4) Menjamin atau menjaga keamanan usaha ternaknya, 5) Setelah panen diharapkan mencapai standar tertentu (Feed Conversion Ratio/FCR) kurang dari bobot boiler, semakin kecil FCR semakin baik, dan mortalitas kurang dari atau sama dengan 5 %), dan 6) Menjual seluruh hasil produksi broiler keperusahaan inti, ditetapkan atau disepakati sebelum DOC masuk kandang.

Beberapa kriteria dalam melakukan seleksi peternak calon mitra (plasma) antara lain adalah :
1.         Bersikap jujur, dapat dipercaya dan memegang komitmen dengan baik
2.         Ada rekomendasi dari tokoh masayrakat atau tokoh peternak setempat
3.         Memiliki pengalaman minimal 2 tahun
4.         Bersedia melakukan usaha budidaya sesuai anjuran perusahaan inti melalui teknisi lapangan
5.         Beberapa inti mensyaratkan adanya agunan terutama berupa sertifikat tanah
6.         Lolos dari uji kelayakan (fesibility study) terutama didasarkan atas kondisi fisik kandang, ketersediaan air bersih, aksessibilitas baik, dan tidak berimpit dengan pemukiman penduduk.
Pelaksanaan dari kemitraan sisten kontrak ini mempunyai kelebiahan dan kekurangan bagi peternak. Kelebihannya yaitu input produksi sudah disediakan perusahaan inti dan sekaligus memebeli produk sesuai harga kontrak, harga tetap walaupun terjadi penurunan harga, biasanya peternak mendapatkan keuntungan Rp. 3000-4.000/kg, sedangkan kelemahannya adalah apabila harga pasar jauh lebih tinggi dari harga kontrak petani tidak dapat menikamti harga tersebut, namun ada beberapa perusahan menerapan kebijakan menaikan harga 30 % dari harga pasar. Kerugian dari system ini adalah peternak tidak mendapatkan keuntungan pada saat harga pasar tinggi dan resiko ditanggung sendiri oleh peternak.

3.      Sistem Manajemem Fee
Sistem manajemen fee adalah kerjasama kemitraan yang mana plasma menyediakan sarana dan prasaran berupa lahan/ kandang beserta perlengkapannya, sarana pendukung (air, listrik dll) serta tenaga kerja baik keluarga maupun tenaga kerja luar keluarga. Sedangkan pihak inti akan menyediakan input produksi berupa bibit ayam (DOC), pakan, obat-obatan dan pihak inti akan membeli hasil dari peternakan tersebut. Harga pembelian kepada peternak sesuai dengan harga pasar. Keuntungan oleh peternak dengan system ini adalah harga yang tergantung harga pasar jika harga pasar tinggi maka peternak akan mendapatka keuntungan yang besar, namun manakala harga turun maka peternak akan mengalami kerugian, serta peternak menanggung sendiri resiko dari kemungkinan gagal panen atau hal lain yang tak diinginkan.

III.    Tinjauan Syari’ah dalam Kerjasama Bisnis (Syirkah)
Islam sebagai agama yang menyeluruh (sumul) dan komprehensif telah memberikan batasan-batasan dan aturan kepada manusia dalam melakukan seluruh aktifitasnya dalam kehidupan sehari-hari (muamalah) karena fitrahnya sebagai mahluk sosial. Dalam hal kegiatan ekonomi misalnya juga tidak luput dari system isalam itu sendiri yang dikenal dengan sistem syari’ah untuk melakukan kerjasama bisnis yang diistilahkan dengan “syirkah”.
Sistem kerja sama bagi hasil merupakan sistim dimana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan  di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan. Bentuk kesepakatan kerjasama “syirkah” secara umum dibedakan atas dua yaitu:
1.         Mudharabah  dimana pengelola  kerjasama bisnis bagi hasil antara dua pihak atau lebih yang mana pihak pertama mempunyai modal 100 % sedangkan pihak lain hanya bermodaklan skill saja. Hasil usaha dibagi secara adil sesuai perjanjian dari awal.
2.         Musyarakah dimana pengelola dan pemodal ditanggung bersama oleh pihak-pihak yang terkait didalamnya. Kedua bela pihak sama-sama mempunyai modal dan skill. Hasil usaha dibagi secara adil sesuai kesepakatan bersama.
Namun dalam sumber-sumber lain dijelaskan, syirkah dalam fiqih Islam ada beberapa macam: di antaranya yang kembali kepada perjanjiannya, dan ada juga yang kembali kepada kepemilikan. Dari sisi hukumnya menurut syariat, ada yang disepakati boleh, ada juga yang masih diperselisihkan hukumnya. Defenisi Syirkah dalam bahasa Arabnya berarti pencampuran atau interaksi. Bisa juga artinya membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang ada. Sementara dalam terminologi ilmu fiqih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut Syirkatul Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul Uqud (Syirkah Transaksional).
Macam-macam Syirkah Transaksional
Syirkah transaksional menurut mayoritas ulama terbagi menjadi beberapa bagian berikut:

1.         Syirkatul "Inan. 
Yakni persekutuan dalam modal, usaha dan keuntungan. Yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dengan modal yang mereka miliki bersama untuk membuka usaha yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama. Jadi modal berasal dari mereka semua, usaha juga dilakukan mereka bersama, untuk kemudian keuntungan juga dibagi pula bersama. Syirkah semacam ini berdasarkan ijma" dibolehkan berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). namun secara rincinya masih ada yang diperselisihkan. Jadi merupakan persukutan dalam modal, usaha dan keuntungan. Hukum Syirkatul diperbolehkan berdasarkan ijma, kalaupun ada perbedaan hanya dalam beberapa bentuk rincian dan satuannya.
Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).
Rukun-rukun Syirkatul 'Inan ada tiga:  pertama: Dua transaktor. Keduanya harus memiliki kompetensi, yakni akil baligh dan mampu membuat pilihan. Boleh saja beraliansi dengan non muslim dengan catatan pihak non muslim itu tidak boleh mengurus modal sendirian, karena dikhawatirkan akan memasuki lubang-lubang bisnis yang diha-ramkan. Kalau segala aktivitas non muslim itu selalu dipantau oleh pihak muslim, tidak menjadi masalah.
Yang patut diingatkan pada kesempatan ini adalah bahwa beraliansi dalam bisnis dan berinteraksi seringkali melahirkan ke-akraban dan cinta kasih yang terkadang menyebabkan -dalam aliansi muslim dengan kafir- lemahnya pemahaman al-Wala (loyalitas) dan al-Bara" (antipati). Hal itu merupakan salah satu lubang bencana.
Maka seorang muslim terus meninggikan nilai keyakinan-nya dan bekerja agar andilnya dalam kerja sama itu menjadi pintu dakwah mengajak ke jalan Allah, dengan kenyataan dirinya seba-gai muslim yang jujur dan amanah dalam pandangan pihak kafir, demikian juga dengan sikapnya yang selalu menepati janji dan komitmen bersama.
Kedua: Objek Transaksi. Objek transaksi ini meliputi modal, usaha dan keuntungan. Pertama: Modal. Disyaratkan dalam modal tersebut beberapa hal berikut:
1.      Harus diketahui tapi kalau tidak diketahui jumlahnya dan hanya spekulatif, tidaklah sah. Karena modal itu akan menjadi rujukan ketika kerjasama dibubarkan. Dan tidak mungkin dilakukan kerjasama tanpa mengetahui jumlah modal.
2.      Hendaknya modal itu riil. Yakni ada pada saat transaksi pembelian karena dengan itulah kerjasama bisa terlaksana, sehingga eksistensinya dibutuhkan. Kalau saat transaksi tidak ada, maka transaksi dianggap batal.
3.      Tidak merupakan hutang pada orang yang kesulitan, demi menghindari terjadinya riba. Karena dalam hal ini orang yang berhutang bisa tertuduh menangguhkan pembayaran hutangnya agar bertambah nilainya. Atau orang yang memberi hutang tertu-duh telah mengorbankan diri menuntut orang yang berhutang untuk menambah jumlah hutangnya karena telah dikembangkan.
Pencampuran modal dan kesamaan jumlahnya bukan merupakan syarat sahnya bentuk syirkah ini. Akan tetapi garansi terhadap modal yang hangus hanya bisa dilakukan dalam aliansi ini dengan adanya pencampuran harta secara hakiki atau secara justifikatif. Caranya, masing-masing melepaskan modal dari pe-ngelola dan tanggungjawabnya secara pribadi untuk dimasukkan dalam pengelolaan dan tanggung jawab bersama.
Dan tidak disyaratkan bahwa kedua harta tersebut harus sama jenisnya, sebagaimana yang menjadi pendapat madzhab Hanafiyah dan Hambaliyah. Misalnya salah satu pihak meng-operasikan modalnya dalam bentuk dolar dan pihak lain dalam bentuk Rupiah. Ketika hendak dipisahkan, kedua modal itu dihi-tung dengan dua cara berbeda:
1.      Kalau dalam mengelola bisnis mereka menggunakan kedua jenis mata uang tersebut secara bersamaan, masing-masing membawa pulang uangnya baru kemudian keuntungan yang ada dibagi dua.
2.      Kalau mereka hanya menggunakan satu jenis mata uang dalam beroperasi, sementara masing-masing modal sudah ditukar dengan mata uang tersebut, maka dengan dasar itu juga modal mereka telah dipisahkan dan penilaiannya didasari oleh mata uang tersebut menurut nilai tukarnya pada hari transaksi.
Kedua: Usaha. Adapun berhubungan dengan usaha, masing-masing pihak bebas mengoperasikan modalnya sebagaimana layaknya para pedagang dan menurut kebiasaan yang berlaku di antara mereka. Kalau orang yang mengelola modal orang saja bebas mengope-rasikan hartanya, apalagi bisnis patner dalam syirkah ini. Karena mengelola modal orang lain hanya merupakan syirkahpraktis, bukan syirkah substansial. Sementara dalam kasus ini yang terjadi adalah syirkah praktis dan sekaligus substansial secara bersamaan.
Masing-masing pihak yang beraliansi bisa menyerahkan usaha itu kepada yang lain, namun itu dijadikan syarat pada awal transaksi menurut pendapat ulama yang paling benar. Karena hak untuk mengoperasikan harta dimiliki oleh mereka berdua. Namun masing-masing pihak juga bisa mengundurkan diri dari haknya tersebut untuk diberikan kepada pihak lain, lalu menyerahkan operasionalnya kepada orang tersebut, sesuai dengan kepentingan yang ada.

Ketiga: Keuntungan. Sehubungan dengan keuntungan itu disyaratkan sebagai berikut:
1.      Harus diketahui jumlahnya. Kalau jumlahnya tidak dike-tahui, syirkah tersebut dianggap rusak, kecuali kalau terdapat kebiasaan setempat yang sudah merata yang membolehkan pem-bagian keuntungan dengan cara tertentu, hal itu boleh dilakukan.
2.      Harus merupakan sejumlah keuntungan dengan prosen-tasi tertentu. Kalau berupa nilai uang tertentu saja, maka syirkah itu tidak sah. Karena ada kemungkinan bahwa aliansi tersebut hanya menghasilkan keuntungan kadar itu saja, sehingga tidak bisa dibuktikan syirkah dalam keuntungannya.
Boleh saja terdapat perbedaan keuntungan antara sesama mitra usaha. Tidak disyaratkan bahwa keuntungan harus sesuai dengan jumlah modal. Karena keuntungan selain juga ditentukan oleh modal, juga ditentukan oleh usaha. Terkadang salah seorang di antara mereka memiliki keahlian yang lebih dari yang lain, se-hingga tidak rela bila disamaratakan keuntungan mereka. Itu adalah pen-dapat yang dipilih oleh Hanafiyah dan Hambaliyah.
Rukun ketiga: Pelafalan akad/perjanjian. Perjanjian dapat terlaksana dengan adanya indikasi ke arah itu menurut kebiasaan, melalui ucapan dan tindakan, berdasarkan kaidah yang ada bahwa yang dijadikan ukuran adalah pengertian dan hakikat sebenarnya, bukan sekedar ucapan dan bentuk lahiriyahnya saja.

2.   Syirkatul Abdan (syirkah usaha). 
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud dan al-Atsram). Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).

3.   Syirkatul Wujuh.
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).

4.   Syirkatul Mufawadhah.
Yakni setiap kerjasama di mana masing-masing pihak yang beraliansi memiliki modal, usaha dan hutang piutang yang sama, dari mulai berjalannya kerja sama hingga akhir. Yakni kerja sama yang mengandung unsur penjaminan dan hak-hak yang sama dalam modal, usaha dan hutang. Kerja sama ini juga dibolehkan menurut mayoritas ulama, namun dilarang oleh Syafi"i. Kemungkinan yang ditolak oleh Imam Syafi"i adalah bentuk aplikasi lain dari Syirkatul Mufawadhah, yakni ketika dua orang melakukan perjanjian untuk bersekutu dalam memiliki segala keuntungan dan kerugian, baik karena harta atau karena sebab lainnya.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

5.   Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.

IV.    Kesimpulan dan Saran
Adapun kesimpulan dari uraian diatas adalah, system kemitraan usaha ayam pedaging dengan pola inti plasma kalau dibandingkan dengan system bagi hasil sesuai syariah lebih dekat pada system musyrakah karena masing-masing pihak mengeluarkan modal usaha walaupun modalnya bukan berbentuk uang tapi berbentuk barang/ benda. Namun dalam hal bagi hasil system kemitraan inti plasma tidak mencirikan system musyarakah karena tidak jelasnya bagi hasil antara inti dengan plasma, bahkan dalam hal resiko lebih banyak diterma oleh peternak. Dari hal tersebut terlihat ketimpangan dari system kemitraan yang berkembang saat ini pada peternakan ayam pedaging, inti mendapatkan untung yang besar dengan resiko kecil sedangkan keuntungan plasma sangat kecil dan dengan resiko yang besar.
Saran dari pola system kerjasama kemitraan peternakan ayam pedaging ini, perlu kiranya untuk mengkaji kembali system kemitraan ayam pedaging yang adil dan saling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain sesuai dengan prinsip syari’ah, sehingga kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.

Sumber :
1.      Alsofwah.or.id
2.      Daryanto A. 2009. Bunga Rampai Pemasaran Agribisnis, IPB Press. Bogor
3.      ……………,2010. Dinamika dan Daya Saing Indudstri Peternakan, IPB Press. Bogor
4.      Chapra U, 2007. Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam, GIP. Jakarta
5.      Muamalah.com
6.      Qardawi Y, 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam (Hukum, Perekonomian, Perempuan), Era Intermedia. Solo

SUBSITEM BUDIDAYA PERTANIAN (ON FARM) DALAM SISTEM AGRIBISNIS

1.1.    Latar Belakang
Pembangunan pertanian menjadi sangat penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat terutama diwilayah pedesaan, maka orientasi pembangunan pertanian diarahkan kepada model sistem agibisnis yang serasi dan terpadu dengan keterkaitan yang erat antara berbagai subsistemnya (hulu dan hilir). Akhir-akhir ini telah muncul pandangan bahwa pembangunan pertanian harus dilihat secara menyeluruh (holistik), terintegrasi antar seluruh instansi dan stakeholder terkait. Hal ini disadari karena sektor pertanian tidak terlepas dari kegiatan untuk menghasilkan bahan pangan (food) yang merupakan kebutuhan asasi manusia yang mesti dipenuhi disamping untuk kebutuhan pakan (feed) dan energi terbarukan (biofule). Selain itu, tidak dapat dipungkiri sektor pertanian telah berkontribusi terhadap PDB, sumber bahan baku industri, dan membuka lapangan pekerjaaan baik disubsitem hulu (dwon strem),  sub sistem budidaya (on farm) , subsistem hilir (up strem) serta subsistem penunjang (kebijakan pemerintah, penelitian, penyuluhan dan perkereditan/pembiayaan).
Subsitem usaha tani atau budidaya (on farm) meruapakan susistem dalam sistem agribisnis paling utama dalam kegiatan agribisnis, karena semua kegiatan agribisnis ada karena adanya kegiatan untuk memproduksi produk pertanian. Menurut Downey dan Erickson (1989) “Keuntungan dari usaha tani/ budidaya hanya 30 % saja sedagkan 70 % nya berada pada sektor hilir (pengolahan dan pemasaran)”. Walaupun demikian sector produksi merupakan yang paling utama dalam kegiatan agribisnis. Oleh sebab itu perlu untuk memahami seluruh subsector dalam agribisnis tersebut, sehingga dapat untuk memahamai sitem agribisnis secara utuh.
Indonesia sebagai negara agraris tentu sudah mempunyai banyak pengalaman dalam dunia pertanian terutama pada subsistem budidaya atau usaha tani dengan dukungan lembaga-lembaga penelitian dalam bidang budidaya. Selain itu sebagian besar tenaga kerja pada subsistem budidaya, oleh sebab itu kegiatan budidaya masih menjadi perhatian utama dalam pembangunan pertanian secara umum. Berkaitan dengan hal tersebut makalah ini bertujuan untuk melihat peran dan perkembangan subsitem budidaya atau usaha tani dalam system agribisnis.

1.2.    Perumusan Masalah
Kegiatan subsistem budidaya atau usaha tani masih menjadi sector utama dalam kegiatan agribisnis di Indonesia, namun dalam system agribisnis semua subsitem harus saling terintegrasi sehingga kegiatan agribisnis menjadi utuh mulai dari kegiatan hulu sampai hilir. Walaupun susbsitem budidaya sudah lama berkembang dan penyerap tenaga kerja paling besar dalam system agribisnis bukan berarti subsistem budidaya tidak luput dari permasalahan. Beberapa permasalahan dalam subsistem budidaya adalah belum menyeluruhnya petani menerapkan system budidaya yang baik (Good Agricultur Practice), lahan pertanian yang semakin berkurang akubat alih fungfsi lahan dan keadaan iklim yan sulit diprediksi akhir-akhir ini.

1.3.    Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penulisa makalah ini adalah untuk melihat berbagai kegiatan dalam agribisnis dalam hal ini subsector budidaya/usaha dalam perannya dalam system agribisnis di Indonesia. Kegunaan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas matakuliah sistem agribisnis.

1.4.  Sistem Agribisnis
Agribisnis merupaka sebuah system keterkaitan antara sector input produksi, kegiatan budidaya, pengolahan dan pemasaran serta penelitian dan penyuluahan. Semua sub system tersebut dalam keseluruhannya disebut dengan system agribisnis. Pada mulanya agribisnis didefinisikan secara sempit, hanya sub sector produksi/ budidaya saja tetapi juga menyangkut pasca panen, pemprosesan, penyebaran dan penjualan (Downay dan Erikson, 1989 dalam sukardono, 2009).
Menurut Saragih (1998), agribisnis merupakan  suatu sector ekonomi modern dan besar dari pertanian primer, yang mengcakup empat sub system yaitu : 1) subsistem agribisnis hulu (up-stream). Yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan agroindustri hulu dan memperdagangkan sarana produksi pertnian primer (seperti industri pupuk. Obat-obatan, benih dan alsintan. 2) Sub system usaha tani (on farm) yang dimasa lalu disebut dengan sector pertanian primer. 3) subsistem agribisnis hilir (down stream), yaitu kegiatan ekonomi pertanian yang mengelola hasil pertanian primer baik yang siap untuk dimasak maupun siap untuk disaji. 4) subsitem jasa pendukung laiinya seperti perkereditan, asuransi, trasportasi, pergudangan, penyuluhan, kebijakan pemerintah dan lain-lain.
Gambar 1. Keterkaitan berbagai subsistem dalam system agribisnis

Keempat subsistem tersebut saling terkait dan saling menentukan. Subsistem usaha tani memerlukan input dari subsistem agribisnis hulu, sebaliknya susbsistem agribisnis hulu memerlukan subsistem usaha tani sebagai pasar produknya, sedangkan subsitem hilir memerlukan produk untuk diolah dan diperdagangakan dari subsistem usaha tani, ketiaga subsitem diatas akan memerlukan subsistem jasa layanan pendukung untuk memeperlancar aktivitasnya. Dalam hal budaya atau usaha tani terdiri dari empat subsector pertanian yang bisa dikembangkan di Indonesia yaitu Subsektor tanaman pangan, peternakan, perkebunan dan hortikulturan.

1.5.  Perkembangan Budidaya pertanian dalam kegiatan Agribisnis
Kegiatan budidaya pertanian secara umum akan berbeda setiap komoditas pertanian, sector pertanian terbagi pada beberapa sub sector yaitu : sector pertanian tanaman pangan, sector perkebunan, peternakan dan hortikultura. Masing-masing komoditas tersebut telah menunjukan perannya dalam kegiatan agribisnis terutama pada sub sector budidaya.
1.5.1.           Tanaman Pangan
 Tanaman pangan merupakan menjadi prioritas penting untuk dikembangkan untuk mencukupi kebutuhan pangan utama yaitu beras. Beberapa tanaman pangan yang dikembangkan di Indonesia meliputi padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau dan ubi kayu. Padi merupakan komoditas produk tanaman pangan yang paling tinggi produksinya dibandingkan komoditi tanaman pangan lainnya. Pada tahun 2007 produksi padi nasional adalah 57,15 juta ton dan mengalami peningkatan sampai 66, 46 juta ton pada tahun 2010, namun pada tauhun 2011 produksinya menurun menjadi 65,47 juta ton atau turun 1,10%. Banyak faktor yang menyebabkan penurunan produktivitas komoditas padi adalah iklim yang tidak menetu sepanjang tahun 2011 dan tingginya alih fungsi lahan sawah menjadi lahan perkebunanataupun pemukiman. Begitu juga dengan komoditi jagung mengalami penurunan produksi 18,32 juta ton pada tahun 2010 menjadi 17,62 pada tahun 2011 atau turun sekitar 3,8 %. Kacang kedelai juga mengalami penurunan 6,97 % dari tahun 2010 dengan produksi mencapai 907, 03 ribu ton turun menjadi 843,8 ribu ton pada tahun 2011.

Tabel 1. Perkembangan produksi tanaman pangan di Indonesia tahun 2007-2011
Tahun
Komoditi
Padi
Jagung
K. Kedelai
K. Hijau
K. Tanah
U. Kayu
U. Jalar
2007
      57,157,435
    13,287,527
         592,534
    322,487
   789,089
19988058
    1,886,852
2008
      60,325,925
    16,317,251
           77,571
    298,059
   770,054
21756991
    1,881,761
2009
      64,398,890
    17,629,748
         974,512
    314,486
   777,888
22039145
    2,057,913
2010
      66,469,394
    18,327,636
         907,031
    291,705
   779,228
23918118
    2,051,046
2011*)
      65,740,946
    17,629,033
         843,838
    341,097
   690,949
24009624
    2,192,242
Pertumbuhan 2011 over 2010
                       -1.10
                      -3.81
                   -6.97
         16.93
-11.33
                    0.38
               6.88

Sumber          : Statistik Kementerian Pertanian (diolah)
*)              : Angka ramalan

     Tabel 1 diatas menunjukan bahwa komoditi tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kacang kedelai mengalami penurunan produksi, walaupun penurunannya tidak signifikan. Hal ini mungkin disebabkan oleh iklim yang tidak bisa diprediksi sepanjang tahun 2011 sehingga banyaknya terjadi gagal panen didaerah-daerah sentra produksi. Sedangkan untuk komoditi ubi kayu dan ubi jalar mengalami peningkatan, ubi kayu pada tahun 2010 produksinya 23,91 juta ton pada tahun 2011 naik menjadi 24,0 juta ton atau sekitar 0,38 %. Komoditi ubi jalar menunjukan peningkatan produksi yang tinggi sebesar 6,88 %. Meningkatnya produksi ubi kayu maupun ubi jalar disebakan oleh komoditi tersebut lebih tahan terhadap perubahan iklim atau cuaca, selain itu komoditi ubi kayu menunjukan harga yang tinggi dan permintaannya tinggi sehingga petani tertaruk untuk mengembangan tanaman ubi kayu.
     Walaupun penurunan produksi dari berbagai makanan pokok pada komoditas tanaman pangan, perlu untuk lebih meningkatkan produksi pangan dalam negeri karena sangat berkaitan dalam hal mewujudkan kemandirian pangan dalam negeri oleh produk dalam negeri sendiri.

Tabel 2. Luas Panen tanaman pangan seluruh Indonesia tahun 2007-2011
Tahun
Komoditi
Padi
Jagung
K. Kedelai
K. Hijau
K. Tanah
U. Kayu
U. Jalar
2007
      12,147,637
      3,630,324
         459,116
    306,207
   660,480
   1,201,481.00
176,932
2008
      12,327,425
      4,001,724
         590,956
    278,137
   633,922
   1,204,933.00
174,561
2009
      12,883,576
      4,160,659
         722,791
    288,206
   622,616
   1,175,666.00
183,874
2010
      13,253,450
      4,131,676
         660,823
    258,157
   620,563
   1,183,047.00
181,073
2011*)
      13,201,316
      3,861,433
         620,928
    297,126
   539,230
   1,182,637.00
177,857
Pertumbuhan 2011 over 2010
                    -0.39
                  -6.54
                  -6.04
         15.10
     -13.11
                       -0.03
                   -1.78
Sumber          : Statistik Pertanian (diolah)
          *)           : Angka sementara 




Tabel 3. Produktivitas tanaman pangan tahun 2007-2011
Tahun
Komoditi
Padi
Jagung
K. Kedelai
K. Hijau
K. Tanah
U. Kayu
U. Jalar
2007
47.05
36.60
12.91
10.53
11.95
166.36
106.64
2008
48.94
40.78
01.31
10.72
12.15
180.57
107.80
2009
49.99
42.37
13.48
10.91
12.49
187.46
111.92
2010
50.15
44.36
13.73
11.30
12.56
202.17
113.27
2011*)
49.80
45.65
13.59
11.48
12.81
203.02
123.26
Pertumbuhan 2011 over 2010
-0.71
2.92
-0.99
1.60
2.05
0.42
8.82
Sumber          : Statistik Pertanian (diolah)
          *)           : Angka sementara 

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa luas panen pertanian tanaman pangan tidak menunjukan peningkatan yang signifikan, bahkan pada tahun 2011 mengalami penurunan dari tahun 2010 walaupun penurunannya tidak signifikan. Namun untuk komoditi tanaman kacang hijau mengalami peningkatan luas panen dari 258, 15 Ha pada tahun 2010 naik menjadi 297,12 Ha atau naik 15,10 %. Dari sisi penggunaan lahan untuk tanaman pertanian maka lahan paling luas adalah komoditi padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau dan ubi jalarar. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa produktifitas tanaman paling tinggi adalah ubi jalar mencapai 8,82 % selanjutnya jagung 2, 9 %.

1.5.2.           Peternakan
Peternakan merupakan subsector yang penting dalam pertanian karean fungsinya sebagai sumber pangan asal hewani serta untuk peningkatan pendapatan para petani/ peternak. Peternakan terdiri dari ternak ruminansia dan non ruminansia, yang termasuk ternak rumniansia adalah sapi, kerbau, kambing dan domba sedangkan ternak non ruminasia adalah unggas, kuda dan babi.

  
Tabel 4. Produksi daging, telur dan sapi pada tahun 2007-2011
Tahun
Komoditi
Daging
Telur
Susu
2007
2,069,520
1,382,140
567,680
2008
2,136,720
1,323,600
646,950
2009
2,204,290
1,306,870
827,250
2010
2,365,670
1,366,200
909,530
2011*)
2,468,220
1,432,190
925,780
Pertumbuhan 2011 over 2010
4.33
4.83
1.79
Sumber          : Statistik Pertanian (diolah)
          *)           : Angka sementara 

Dari tabel 4 terlihat terjadi peningkatan produksi daging (semua daging ternak), telur (semua telur ayam dan itik) dan susu dari tahun ketahun. Peningkatan produksi produk peternakan pada tahun 2011 seperti daging mencapai 4,33% , telur 4,83 % dan susu 1,79 %.  Walaupun peningkatannya tidak signifikan tapi ini menunjukan bahwa permintaan terhadap produk peternakan terus meningkat seiring dengan meningkatanya pendapatanan masyarakat dan kesadaran masyarakat untuk mengkonsusmsi protein asal hewani semakin tinggi. Hal ini berarti masih memberikan peluang untuk pengembangan atau melakukan kegiatan budidaya peternakan diamsa yang akan datang.

Tabel 5. Perkembangan populasi beberapa ternak, pad atahun 2007-2011
Tahun
Komoditi
sapi
kerbau
sapi perah
ayam petelur
ayam pedaging
2007
       11,514,871
     2,085,779
     374,067
111,488,878
             891,659,345
2008
       12,256,604
     1,930,716
     457,577
107,955,170
             902,052,418
2009
       12,759,838
     1,932,927
     474,701
111,417,637
         1,026,378,580
2010
       13,581,570
     1,999,604
     488,448
105,210,062
             986,871,712
2011*)
       14,824,007
     1,305,011
     597,129
110,300,428
         1,041,968,246
Pertumbuhan 2011 over 2010
                    9.15
           (34.74)
          22.25
                    4.84
                            5.58
Sumber          : Statistik Pertanian (diolah)
          *)           : Angka sementara 

Dari tabel 5 terlihat bahwa rata-rata populasi ternak menunjukan peningkatan setiap tahunnya, namun yang mengalami penurunan di tahun 2011 adalah populasi kerbau turun sebesar 34,7 % dari tahun 2010. Peningkatan populasi tentu didorong oleh berbagai faktor baik faktor sumber daya peternakan, permintaan dan bibit yang unggul.

1.5.3.           Perkebunan
Sub sector perkebunan merupakan komoditas ekspor terbesar Indonesia dan memberikan pendapatan yang besar jug bagi devisa negara diantara sub sector pertanian laiinnya. Kegiatan budidaya perkebunan sudah mengalami perkembangan yang pesat dengan dukungan teknologi. Beberapa komoditas perkebunan di Indonesia adalah sawit, karet, kakao, kopi, kelapa, lada, pinang, atsiri dan rempah-rempah lainnya.
Tabel 6. Produksi beberapa komoditi perkebunan tahun 2007-2011
Tahun
Komoditi
Sawit
Karet
Kakao
Kopi
Lada
2005
   11,861,615
     2,270,891
   748,828
         640,365
     78,328
2006
   17,350,848
     2,637,231
   769,386
         682,158
     77,534
2007
   17,664,725
     2,755,172
   740,006
         676,475
     74,131
2008
   17,539,788
     2,751,286
   803,593
         698,016
        8,042
2009
   19,324,293
     2,440,347
   809,583
         682,591
     82,834
2010
   21,958,120
     2,734,854
   837,918
         686,921
   179,318
2011*
   22,508,011
     3,088,427
   712,231
         633,991
     77,808
Pertumbuhan 2011 over 2010
2.5
12.9
        -15.0
-7.7
-56.6
Sumber          : Statistik Pertanian (diolah)
          *)           : Angka sementara 

            Dari tabel 6 terlihat bahwa komoditi perkebunan sawit dan karet mengalami peningkatan dari tahun ketanun, pada tahun 2011 sudah mencapai 22,5 juta ton, dan Indonesia merupakan produsen sawit terbesar didunia. Untuk komoditi karet tercatat pada tahun 2011 mencapai 3,08 juta ton dan Indonesia merupakan produsen nomor dua terbesar di dunia. Komoditi kakao yang juga merupakan komoditi unggulan perkebunan Indonesia produksi tahun 2011 turun sebesar 15 % dari tahun 2010. Kegiatan budidaya perkebunan sudah memberikan dampak yang tinggi terhadap peningkatan pendapatan petani, sumber devisa dan penyedia lapangan pekerjaan.

Tabel 7. Luas lahan beberapa komoditas perkebunan tahun 2007-2011
Tahun
Komoditi
Sawit
Karet
Kakao
Kopi
Lada
2005
       5, 453,817
     3,279,391
   1,167,046
     1,255,272
   191,992
2006
     6,594,914
     3,346,427
   1,320,820
     1,308,732
   192,604
2007
     6,766,836
     3,413,717
   1,379,279
     1,295,912
   189,054
2008
     7,363,847
     3,424,217
   1,425,216
     1,295,111
   183,082
2009
     7,873,294
     3,435,270
   1,587,136
     1,266,235
   185,941
2010
     8,385,394
     3,445,415
   1,650,621
     1,210,365
   186,296
2011*
     8,908,399
     3,456,127
   1,677,254
     1,292,965
   179,038
Pertumbuhan 2011 over 2010
                  6.2
                  0.3
                1.6
                  6.8
          (3.9)
Sumber          : Statistik Pertanian (diolah)
          *)           : Angka sementara 

            Dari tabel 7 bahwasanya luas lahan yang paling luas adalah komoditas sawit pada tahun 2011 mencapai 8,9 juta Ha selanjutnya lahan karet 3,4 juta Ha, kakao 1,6 juta Ha, lada 1,3 juta Ha, namun untuk komoditi lada mengalami penurunan setiap tahun, pada tahun 2011 turun 3,9% atau luas lahannya 179,03 ribu Ha. Komoditi perkebunan semunya merupakan komoditas ekspor.

1.5.4.           Hortikultura
Tanaman hortikultura terdiri dari tanaman sayuran, buah-buahan, florikutura dan biofarmaka. Indonesia memiliki berbagai ragam tanaman sayuran dan buah-buahan serta florikultura sesuai dengan iklim tropis.
Tabel 8. Produksi beberapa tanaman hortikultura tahun 2007-2011
Tahun
Komoditi
Bawang merah
Cabe besar
cabe rawit
2007
               802,810
             676,828
            451,965
2008
               853,615
             695,707
            457,353
2009
               965,164
             787,433
            591,294
2010
           1,048,934
             807,160
            521,704
2011*
               877,244
             857,191
            583,023
Pertumbuhan 2011 over 2010
                   (16.4)
                       6.2
                   11.8
Sumber          : Statistik Pertanian (diolah)
          *)           : Angka sementara 

Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa produksi bawang merah mengalami peurunn yang sangat signifikan pada tahun 2011 samapai 16,4 % sedangkan untuk komoditi cabai mengalami peningkatan, walaupun peningkatanya tidak signifikan.

1.6.  Faktor-faktor Pendukung Kegiatan Budidaya Pertanian

1.6.1.   Lingkungan budidaya pertanian
Faktor-faktor lingkungan yang perlu diperhatikan dalam menjalankan kegiatan budidaya atau usaha pertanian, dapat dikelompokan yaitu, faktor lingkungan mikro dan faktor lingkungan makro. Faktor mikro dapat disebut sebagai faktor internal sedangkan faktor makro dapat disebut sebagai faktor eksternal. Penggabungan dari faktor internal dan eksternal tersebut diebut lingkungan usaha pertanian. Tujuh faktor makro yang berpengaruh dalam melaukan budidaya pertanian adalah mencakup faktor klimatik, edafik, biotic, teknologi, ekonomi financial, social budaya, dan kebijakan pemerintah.
Iklim/klimatik sangat menetukan komoditas yang akan diusahakan baik untuk tanaman maupun peternakan. Komoditas yang diusahakan harus cocok dengan iklim setempat agar produktivitasnya tinggi dan memberikan manfaat yang lebih baik bagi manusia. Iklim juga berpengaruh terhadap cara mengushakan serta teknologi yang cocok dengan iklim tersebut. Faktor klimatik meliputi curah hujan, suhu udara, kelembapan udara, radiasi sinar matahari dan kecepatan angin.
Curah hujan, menjadi faktor yang sangat penting dalam pertanian dan peternakan dalam hal mengairi persawahan maupun untuk penyediaan air minum ternak dan pengadaan makanan ternak sepanjang tahun. Berkaitan dengan hal tersebut perlu untuk mempelajari peta curah hujan untuk mengetahui jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah sepanjang tahun.

1.6.2.   Faktor Tanah/ lahan
Tanah sebagai sebagai faktor alam juga menentukan dalam usaha pertanian. Ada tanah pasir yang sanagat porous, ada tanah kuarsa yang berbutir halus, tanah liat yang susah penggarapannya pada waktu kering karena keras, ada tanah yang gembur dan subur sehingga sanagat menguntungkan. Sebagian besar tanah Indonesia adalan tanah yang subur dan sanagat baik untuk digunakan sebagai lahan pertanian.
Tabel . Luas lahan pertanian tahun 2005-2009
Tahun
Sawah non irigasi
Sawah irigasi
Tegalan/Kebun
Ladang/ Huma
Total luas lahan pertanian
2005
3,090,084
4,672,997
11,498,226
5,214,967
24,476,274
2006
3,138,054
4,679,291
11,513,336
5,102,680
24,433,361
2007
3,142,112
4,754,842
12,004,535
5,202,308
25,103,797
2008
3,173,249
4,841,584
11,853,848
5,324,282
25,192,963
2009
3,162,965
4,898,822
12,281,190
5,453,364
25,796,341
Sumber : Kementerian Pertanian
Dari tabel diatas terlihat luas lahan petanian mengalami peningkatan walaupun tidak terlalau signifikan, lahan pertanian yang bertambah tersebut adalah untuk sector perkebunan dan plawija. Pada tahun 2009 lahan untuk perkebunan mencapai 12,281 juta Ha, sedangkan un tuk lahan swah  tidak ada peningkatan bahkan cenderung mengalami penurunan. Komposisi lahan pertanian dapat dilihat pada diagram berikut :



                         





Diagram persentase lahan pertanian di Indonesia.

1.6.3.   Tenaga Kerja
Tenaga kerja dalam hal ini petani merupakan faktor penting dalam proses produksi komoditas pertanian. Tenaga kerja harus mempunyai kualitas berpikir yang maju untuk dapat mengadopsi inovasi-inovasi baru, tertama dalam pencapaian teknologi untuk melakukan buduaya yang baik sehingga produktivitasnya akan tinggi.
Tenaga kerja kerja berumur 15 tahun keatas yang bekerja pada sector pertanian pada tahun 2008 mencapai 41,331,706 orang pada tahun 2009 mencapai  41,611,840 orang sedangkan tahun 2010 mengalami penurunan dengan jumlah 41,494,941 orang separoh dari angkatan kerja di Indoesia. Hal ini melihatkan banyaknya tenaga kerja pada subsektor pertanian terutama di pedesaan.
Jika dilihat secara system agribisnis, maka tenaga kerja yang terlibat dalam agribisnis akan menjadi lebih tinggi baik yang bekerja di sector hulu, sector jasa dan lain-lain. Sampai saat ini tenaga kerja dalam sitem agribisnis masih terbesar pada subsistem budidaya pertanian, hal ini disebakan oleh masih rendahnya tingkat pendidikan para petani.

1.7.  Arah Pengembangan Kegiatan Budidaya Pertanian
Mengingat peran penting pertanian dalam perekonomian bangsa Indonesia telah menjadikan pertanian termasuk sebagai prioritas untuk tetap dikembangakan, karena sektor pertanian akan berkaitan dengan ketersediaan pangan dan tenaga kerja. Untuk itu beberapa hal yang menjadi perhatian dalam  pengembangan pertanian kedepan khusus untuk subsistem budidaya pertanian adalah dengan beberapa hal diantaranya melaui Intensifikasi pertanian, ekstensifikasi pertanian, diversifikasi pertanian, peningkatan teknologi, dan penelitian dan pengembangan.
Intensifikasi dan diversifikasi pertanian perlu dilakukan di daearah pada penduduk yang tidak bisa lagi dilakukan ektensifikasi seperti pulau Jawa, sedangkan untuk pulau diluar pulau Jawa masih memungkinkan untuk kegiatan ektensifikasi. Disamping intensifikasi, ektensifikasi dan diversifikasi perlu pengembangan bidang penelitian dan pengembagan mekanisasi pertanian.


II.    KESIMPULAN DAN SARAN

2.1.    Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah :
1.        Keterkaitan dari berbagai subsistem dalam agribisnis akan membentuk system agribisnis yang saling membutuhkan atara yang satu dengan yang laiinya.
2.        Kegiatan budidaya (on farm) merupakan kegiatan yang utama dalam system agribisnis, walaupun secara pendapatan ekonomi lebih kecil dibandingkan dengan kegiatan di subsistem hillir.
3.        Indonesia sebagai negara beriklim tropis memiliki potensi besar untuk mengembangkan pertanian baik untuk pertnian, perkebunan dan petenakan.

2.2.    Saran
Saran dari makalah ini adalah untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani melalui kegiatan budidaya pertanian maka program yang dilakukan adalah Intensifikasi pertanian , ekstensifikasi pertanian, diversifikasi pertanian, peningkatan teknologi, penelitian dan pengembangan.




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Adjid. D, 1998. Bunga Rampai Agribisnis, kebangkitan, kemandirian dan keberdayaan masyarakat pedesaan menuju abad 21. Surat Kabar Sinar Tani, Jakarta

Hafsah. J, 2009. Membangun Pertanian. Pusataka Sinar harapan, Jakarta

Krisnamurti. B, dkk. 2010, Refleksi Agribisnis, IPB Press. Bogor

Pakpahan. A, 2009, Pertanian Masa Depan Kita, Gibon Books. Jakarta

Rahim. A, 2007. Pengantar, teori dan kasus. Ekomomika Pertanian, Penebar Swadaya, Jakarta

Sholahudin. S, 2009. Pertanian Harapan Masadepan Bangsa, IPB Press. Bogor

Sukardono, 2009, Ekonomi Agribisnis Peternakan, Akapress. Jakarta

Suratiyah. K, 2009. Ilmu Usaha Tani, Penebar Swadaya, Jakarta

Suryana. A, dkk. 1995. Diversifikasi Pertanian, Pusataka Sinar harapan, Jakarta

Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian


“NEGARA KAYA TERNAK TIDAK AKAN PERNAH MISKIN”

Sejak dilakukan domestikasi  ( m enjinakan) hewan buruan oleh manusia, yang pada awalnya hanya untuk kebutuhan pangan keluarga sehari-hari, ...