Jumat, 15 Januari 2016

PENGEMBANGAN SUPPLY CHAIN MANAJEMEN (SCM) PADA AGRIBISNIS AYAM RAS PETELUR DI KABUPATEN LIMAPULUH KOTA PROVINSI SUMATERA BARAT


Pembangunan pertanian merupakan salah satu sektor utama dalam pembangunan nasional, hal ini berkaitan dengan peran sektor pertanian dalam penyediaan lapangan pekerjaan, penyumbang PDB, sebagai penghasil pangan, pakan dan energy serta sektor pertanian yang lebih fleksibel terhadap gejolak krisis ekonomi seperti yang terjadi pada krisis ekonomi tahun 1997/1998 yang mana sektor yang tetap bertahan adalah pertanian. Angkatan kerja yang bekerja disektor pertanian mencapai 40,3 persen dari seluruh angkatan kerja (BPS, 2010). Penggunaan lahan oleh sektor pertanian mencapai 71,33 persen dan juga sebagai penyumbang PDB sebesar 15,60 persen dari total PDB.
Pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan perkapita dan kesadaran masyarakat terhadap makanan yang bergizi tinggi, serta kebutuhan energy fosil yang semakin menipis menyebabkan sektor pertanian menjadi sangat penting dalam meningkatkan perekonomian secara makro dan mikro, maka orientasi pembangunan pertanian diarahkan kepada model sistem agibisnis yang serasi dan terpadu dengan keterkaitan yang erat antara berbagai subsistemnya atau lebih dikenal dengan supply chain management. Subsistem dalam agribisnis tersebut adalah subsistem sarana produksi pertanian (agro input), subsistem usaha tani (on farm), subsistem pengolahan dan pemasaran (off farm) serta subsistem penunjang (penelitian, penyuluhan dan pembiayaan, sarana dan prasarana) (Saragih, 2009).
Salah satu subsektor agribisnis yang memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan petani dan penyerapan tenaga kerja adalah agribisnis ayam petelur. Dalam sistem agribisnis, kegiatan peternakan ayam petelur akan berpengaruh terhadap kegiatan peyediaan agro input, pemasaran dan penyediaan sarana dan prasarana pendukung. Kegiatan agribisnis pada agroinput ayam petelur adalah penyediaan pakan, doc (day old chicen), vaksin dan obat-obatan serta peralatan. Kegiatan bagian hilir adalah pendistribusian dan pemasaran.
Konsumsi telur ayam secara nasional mencapai 1,737 juta ton pada tahun 2010 dengan rata-rata pertumbuhan  konsumsi setiap tahunnya 8,72 persen sedangkan pertumbuhan populasi ayam petelur berfluktuatif walaupun menunjukan kenaikan. Populasi ayam ras petelur di Indonesia berdasarkan data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan pada tahun 2011 mencapai 110.300.428 ekor mengalami peningkatan 5 persen dibanding tahun 2010 walaupun populasi pada tahun 2010 mengalami penurunan 6 persen dari tahun 2009. Hal ini menunjukan kegiatan agribisnis ayam petelur belum dapat dikatakan berjalan dengan baik dan normal karena terjadi fluktuatif pertumbuhan populasi ayam dan jumlah peternak setiap tahunnya terutama peternak rakyat.
Daerah sentra ayam petelur secara nasional masih didominan di Pulau Jawa yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Pulau Suamtera yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan.
Tabel 1. Lima besar Provinsi Sentra Ayam Petelur
No
Provinsi
Tahun


2007
2008
2009
2010
2011
1
Jawa Timur
34,926,134
31,472,953
33,046,601
21,959,505
22,492,294
2
Jawa Tengah
14,920,824
15,569,127
16,519,794
17,712,776
18,568,354
3
Jawa Barat
11,462,744
10,303,478
10,403,803
11,252,390
12,056,664
4
Sumatera Utara
9,777,189
7,698,504
7,702,353
8,350,030
8,537,070
5
Sumatera Barat
6,460,787
6,684,013
7,203,319
7,801,317
7,594,409

Indonesia
111,488,878
107,955,170
111,417,637
105,210,062
110,300,428
Sumber : Kementerian Pertanian RI
Sumatera Barat merupakan termasuk provinsi lima besar penghasil telur ayam ras secara nasional dengan populasi ayam petelur pada tahun 2011 mencapai 7,594,409 ekor mengalami penurunan 2,6  persen dari tahun 2010 dengan populasi 7,801,317 dan jumlah ternak berfluktuatif setiap tahunnya. Kabupaten sentra penghasil ayam petelur  di Sumatera Barat adalah Kabupaten Limapuluh Kota dengan populasinya mencapai 4,796,490 ekor pada tahun 2011 atau 60 persen dari total populasi ternak ayam petelur di Sumatera Barat.
Gambar 2. Populasi ayam petelur di Sumatera Barat tahun 2001-2011
No
Kabupaten/Kota
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
1
Limapuluh Kota
3,934,111
4,058,991
4,734,598
4,858,940
4,796,490
2
Tanah Datar
608,159
612,077
612,227
714,786
816,401
3
Padang
512,880
561,928
450,845
460,845
535,300
4
Payakumbuh
475,800
509,750
483.000
749,900
624,025
5
Padang Pariaman
242,050
392,600
376,000
404,911
483,690

SUMBAR
6,347,337
6,684,013
7,224,619
8,545,250
7,826,836
Sumber : Dinas Peternakan Sumatera Barat
Kabupaten Limapuluh Kota memang dijadikan sebagai sentra peternakan sapi dan ayam petelur melaui program bimas pada tahun 1977. Peternakan unggas di pusatkan di Kecamatan Mungka namun peternakan ayam petelur sudah berkembang ke kecamatan lain seperti Kecamatan Guguak, Kecamatan Lareh Sago Halaban dan Kecamatan Harau. Jumlah peternak juga mengalami fluktuasi dengan tren meurun, rata-rata penurunan peternak setiap tahunnya 11,71 %, pada tahun 2010 jumlah peternak 8.92 kk namun tahun 2011 turun menjadi 795 kk. Hal ini menunjukan tidak stabilnya agribisnis peternakan ayam petelur di Kabupaten Limapuluh Kota terutama bagi peternak rakyat dengan skala kepemilikan ayam kurang dari 10.000 ekor, sehingga keuntungan peternakan ayam petelur hanya akan dinikmati oleh peternak besar yang sudah mampu untuk menjalin hubungan dengan relasinya pemasok agro input dan pemasaran.

Agribsnis ayam petelur masih sangat prospek untuk dikembangkan karena permintaan akan  makanan bergizi akan meningkat dan lima tahun kedepan diperkirakan akan terjadi double consumtion pangan asal unggas yaitu telur dan daging ayam. Harga daging sapi mengalami kenaikan yang tajam sehingga akan terjadi peralihan konsumsi ke telur dan daging ayam. Hal tersebut merupakan peluang dan tantangan bagi para peternak, akan menjadi peluang karena permintaan terhadap telur ayam akan meningkat dan akan menjadi tantangan karena ketersediaan input produksi terutma pakan dari jagung dan dedak akan bersaing dengan peternak ayam pedaging sehingga harga input produksi akan meningkat.
Berkaitan dengan hal tersebut pembinaan hubungan antar pemasok dan pemasar menjadi sangat penting agar peternakan dapat bertahan. Namun permasalahan agribisnis ayam petelur yang terjadi di Kabupaten Limapuluh Kota adalah jumlah peternak berfluktuatif dengan kecenderungan menurun jika pada tahun 2002 jumlah peternak mencapai 1,414 kk menurun dratis setahun kemudian menjadi 631 kk dan pada tahun 2012 naik menjadi 795 hal ini menunjukan banyak peternak ayam yang tidak melanjutkan usahanya, walaupun disisi lain populais ayam befluktuatif dengan kecenderungan naik. Salah satu permasalahan yang menyebabkan jumlah peternak menurun adalah harga input produksi yang tidak sebanding dengan harga pemasaran telur sehingga banyak peternak yang rugi terutama peternka rakyat sedangkan peternak besar masih tetap bertahan karena adaya jalinan hubngan dengan input produksi dan pemasaran yang kuat. Belum ada lemabaga yang menkoordinir kelembagaan rantai pasok atau supply chain management di Kabupaten Limapuluh Kota sehingga peternak rakyat sulit untuk berkembang dan bahkan peternak baru akan sulit untuk masuk keagribisnis tersebut.
Kab. Liamapuluh Kota yang sudah ditetapkan sebagai sentra agribisnis ayam petelur di Provinsi Sumatera Barat, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan ekonomi masyarakat dan tumbuh menjadi sentra agribisnis peternakan ayam petelur yang berdaya saing. Untuk dapat mengembangkan agribisnis ayam petelur yang berdaya saing dan berkelanjutan, maka para peternak harus mampu mengkoordinasikan seluruh kegiatan peternakan pada bagian hulu (upstream) dalam menyediakan bahan-bahan baku atau input hingga pada bagian hilir (downstream) dalam proses distribusi dan pemasaran produk yang sering disebut dengan Supply chain management (SCM).  Penerapan SCM adalah  untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang (warehouse) dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk yang dihasilkan dapat didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat dan waktu tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan pelanggan. Jaringan dalam satu supply chain akan terjalin kuat dengan adanya hubungan kemitraan (relationship marketing) yang erat ke hulu (backward linkage) dan ke hilir (forwad linkage). Untuk itu, para peternak harus mampu menjalin hubungan yang baik dengan mitra bisnisnya. Hubungan ke hulu terkait dengan lembaga penyedia input produksi (pakan, doc, obat-obatan dan vitamin), supplyer jagung dan dedak sedangkan hubungan ke hilir adalah dengan pasar konvensional, pasar modern dan pasal lembaga.





“NEGARA KAYA TERNAK TIDAK AKAN PERNAH MISKIN”

Sejak dilakukan domestikasi  ( m enjinakan) hewan buruan oleh manusia, yang pada awalnya hanya untuk kebutuhan pangan keluarga sehari-hari, ...